Sampah dan Budaya Hidup Bersih

Profesor ITS Berbincang merupakan wahana menambah pengetahuan yang diprakarsai oleh Sensei Prof. Imam Robandi. Beliau adalah Ketua Dewan Profesor ITS dan founder of IRo-Society yang selalu mengemukakan ide brilian dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hari Rabu tanggal 3 Juli 2024, saya hadir via zoom di acara Profesor ITS Berbincang Seri ke 41 yang menampilkan dua orang narasumber yaitu: Prof. I. D. A. A. Warmadewanthi (Guru Besar Teknik Lingkungan ITS) dan Prof. Agung Purniawan, (Guru Besar Teknik Material dan Metalurgi ITS). Prof. Warmadewanthi mendapat kesempatan pertama memaparkan materinya berjudul: 3R dalam Perspektif Sosial, Budaya dan Teknologi. Beliau memulai presentasinya dengan mengemukakan keberadaan sampah yang telah menjadi masalah nasional. Tumpukan sampah merupakan pemandangan lazim terutama untuk masyarakat yang bermukim di perkotaan. Kehadiran sampah berhubungan sangat erat dengan kesehatan dan kualitas lingkungan yang menjadi hunian manusia. Masalah sampah dan penanganannya termasuk ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin 12 yaitu Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung jawab.  Di dalam upaya menangani pencemaran lingkungan karena sampah, Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah global dengan cara mengurangi limbah, peningkatan sumber daya sadar lingkungan dan praktik pengelolaan sampah yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Flyer Profesor ITS Berbincang Seri ke 41

Secara umum pengelolaan sampah terbagi dua yaitu: pengurangan (reduksi/mengurangi jumlah sampah,  reuse/menggunakan ulang, recycle/daur ulang) dan penanganan (pemilahan sampah, pewadahan, pengumpulan sampah, Tempat Pembuangan Sampah/TPS, pengangkutan, pengolahan sampah, pemrosesan akhir sampah). Di dalam presentasinya, Prof. Warmadewanthi membandingkan pengelolaan sampah dua kota yaitu:  Surabaya (Indonesia) dan Marseille (Prancis). Berdasarkan hasil penelitian tahun 2021-2022, sampah di Surabaya berasal dari perkampungan (reduksi 0,38 – 0,4 kg/org.hari), perumahan (reduksi 0,5 – 0,53 kg/org.hari), perumahan mewah (reduksi 0,51 – 0,53 kg/org.hari) dan pesisir (reduksi 0,32-0,33 kg/org.hari). Komposisi sampah di Surabaya  di dominansi oleh sampah makanan dan plastik berasal dari perkampungan (59,77% dan 27,97%), perumahan (50,32% dan 22,90%) dan perumahan mewah (52,66 dan 25,57%). Bukan hanya Surabaya yang menghadapi masalah pengelolaan sampah makanan dan plastik karena sampah telah menjadi masalah nasional yang selalu diperdebatkan pengelolaannya. Kota Makassar tempat saya bertinggal juga menghadapi masalah dalam pengelolaan sampah. Kendala terbesar yang ditemukan Pemerintah Daerah adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih. Plastik sebagai pembungkus makanan dan minuman tetap menjadi pilihan utama karena mudah diperoleh dan praktis digunakan. Namun dampak buruknya adalah plastik merupakan bahan pencemar lingkungan karena sulit diuraaikan oleh mikroba tanah.

Perbandingan jenis sampah antara Indonesia dan Eropa adalah sampah organik dominan dihasilkan di Indonesia sebanyak 63%, disusul sampah plastik sebanyak 13% dan karet 9%. Sampah dominan di Eropa adalah plastik sebesar 36%, sampah campuran sekitar 21%, karet dan bulu sebanyak 18,6%. Selain sisa makanan dan plastik, jenis sampah yang umum ditemukan di kedua negara adalah: daun/dahan/ranting/rumput kering, kertas, kayu, pecahan botol/beling, besi/aluminium dan puing bangunan. Sampah berasal dari sisa daun  dan kertas dapat diuraikan oleh mikroba sehingga berpotensi menjadi bahan kompos. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Warmadewanthi, beberapa cara penanganan sampah yang ditemukan di kota Surabaya adalah: membakar (47%), dijual ke sektor informal (26%), dikumpul dan dibawa ke tempat pembuangan sampah (19%), dibuat kompos rumahan (6%), sampah dipilah dan diberikan kepada pemulung (2%). Beberapa alasan yang diberikan oleh anggota masyarakat sehingga ditemukan banyak tumpukan sampah di sekitar tempat tinggalnya adalah: tidak mempunyai banyak waktu mengelola sampah (46%), tidak mempunyai alat pembuat kompos (27%), malas membuat kompos (15%) dan tidak menahu cara membuat kompos (12%). Sebenarnya sampah tidak menjadi masalah jika setiap anggota masyarakat sadar dan disiplin untuk membuang sampah pada tempat yang tersedia. Ketidaktahuan masyarakat membuat kompos sebaiknya menjadi prioritas materi sosialisasi Pemerintah terkait untuk meningkatkan pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Kedua kota yang dibandingkan sampahnya mempunyai bak penampungan berukuran sangat besar untuk membuang sampah dan diberikan penutup. Bedanya sampah kota Surabaya dan Marseille adalah sampah di Marseille tidak berbau, tidak ada lalat dan tidak ada air lindi (leachate). Mengapa demikian? Ternyata terdapat perbedaan budaya dan sosial dalam menangani masalah menumpuknya sampah makanan. Pemerintah kota Marseille menyediakan Solidarity Fridges di beberapa tempat yang digunakan untuk menyimpan makanan masih layak saji berasal dari sumbangan masyarakat. Siapapun boleh mengambil makanan tersebut dari fridge secara gratis. Ternyata metode ini sangat ampuh mengurangi terbuangnya sisa makanan di kota itu.

Prof. Warmadewanthi telah melakukan penelitian tentang cara menangani sampah rumah tangga di pulau Bawean. Salah satu cara yang ditawarkan adalah memanfaatkan Black Soldier Fly (BSF). BSF adalah lalat hitam dengan nama ilmiah Hermetia illucens yang ulatnya berpotensi sebagai pengurai sampah secara ramah lingkungan. Sayangnya masyarakat masih jijik menggunakan BSF sebagai perombak sampah sehingga dicarikan alternatif lain sesuai dengan kultur yang berkembang di tengah masyarakat. Pengumpulan data responden di Bawean dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa proporsi sampah dibakar (27%), dijadikan makanan hewan (20%), dibuat kompos (20%), hanya dibuang  tanpa dimanfaatkan (18%), dijual ke pengumpul (11%) dan dijual ke bank sampah (4%). Terdapat data yang saya anggap unik di dalam penelitian Prof. Warmadewanthi karena adanya beberapa alasan anggota masyarakat Bawean yang bersedia menjadi nasabah bank sampah yaitu: upaya penyelamatan lingkungan (59%), meningkatkan pendapatan (31%) dan ikut berpartisipasi pada program Pemerintah (10%). Usia nasabah sampah di Bawean juga variatif yaitu: kurang dari 30 tahun (37%), umur 31-40 tahun (16%), umur 41-50 tahun (27%), umur 51-60 tahun (7%) dan umur 60 tahun (13%). Dominansi nasabah sampah pada umur kurang dari 30 tahun merupakan indikator bahwa nasabah sampah merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan pendapatan keluarga sekaligus menyelamatkan lingkungan dari cemaran mikroba penyebab penyakit berasal dari sampah. Di balik kesediaan masyarakat menjadi nasabah, terdapat segelintir anggota masyarakat yang tidak bersedia menjadi nasabah sampah dengan alasan: sedikit uang yang diperoleh (27%), tidak mempunyai banyak waktu (19%), prosesnya sulit (17%), jauh dari rumah (16%), ingin mencoba saja (16%) dan malas (5%). Ternyata financial support sangat berpengaruh kepada keinginan masyarakat berkontribusi pada kegiatan yang diadakan oleh Pemerintah maupun sektor lainnya.

Lain lubuk, lain ikannya, hal itu berlaku pada tata cara penanganan sampah di Indonesia dan Eropa. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia tentu sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat di Eropa. Di kota Freiburg Jerman, cara menanggulangi sampah mulai dengan dipilah dari rumah. Sarana dan prasarana sampah disediakan oleh Pemerintah setempat, infrastruktur tersedia dan terdapat penegakan aspek secara legal. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dalam menangani sampah adalah terdapat sistem angkut sampah hasil pilahan dengan jadwal yang harus dipatuhi masyarakat. Khusus untuk sampah yang dapat di daur ulang, masyarakat membuat berbagai kerajinan tangan dari sampah. Cara lain yang diterapkan Pemerintah Jerman dalam menarik minat masyarakat supaya disiplin membuang sampah adalah mengembalikan botol habis pakai dan mendapatkan reward. Masyarakat membeli minuman dan mengembalikan ke tempat mereka membeli mendapatkan reward 0,5 euro per botol. Perusahaan minuman melakukan pengumpulan botol bekas pakai dari toko melalui sistem telepon sehingga memudahkan masyarakat mengembalikan dan mendapatkan rewardnya. Upaya tersebut berbuah sangat manis karena terkumpul sekitar 50% dari botol yang telah digunakan sebagai tempat minuman. Bagaimana cara penanganan botol bekas pakai supaya layak digunakan kembali? Perusahaan membuat stiker yang spesifik dan mudah dibersihkan. Selain itu digunakan teknologi pembersihan dengan cara sterilisasi.

Teknologi di dalam pengolahan sampah menggunakan tiga metode yaitu: 1) secara fisik dilakukan pemisahan sampah, memperkecil ukuran/cairan, memperkecil volume dan pemisahan ukuran; 2) secara biologi dilakukan dengan menggunakan digester aerob dan anaerob. Selain menggunakan digester, pengolahan sampah dilakukan secara biologi memakai teknik komposting secara aerob, anaerob, vermi composting (memakai cacing) dan BSF; serta 3) secara kimia menggunakan gasifikasi, incinerasi dan pirolisis. Keberhasilan dalam pengelolaan sampah sangat tergantung pada: 1) teknologi yang diterapkan, 2) komposisi dan karakteristik sampah, 3) proses di hulu, mulai dari sumber sampai pengolahan.  Umumnya sampah telah bercampur saat dibuang sehingga perlu pre-treatment dan memilah sampah berdasarkan kelompoknya masing-masing, 4) perlu lahan yang berfungsi sebagai TPS, 5) diperlukan biaya investasi, 6) sumber daya manusia yang terampil dalam pengelolaan sampah secara ramah lingkungan, 7)  menyediakan infrastruktur dan support dari masyarakat yang menghasilkan sampah. Berdasarkan paparan di atas diketahui dapat dilihat bahwa pengaruh sosial dan budaya sangat menunjang keberhasilan penerapan teknologi penanganan sampah. Off taker produk dan hasil menjanjikan dapat berpeluang meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dalam menangani masalah sampah (srn). 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *