Keanekaragaman bahasa berbagai suku di Indonesia sungguh luar biasa. Keindahan bahasa dan berbagai makna yang tersirat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara indah dengan beragam budaya yang terdapat di dalamnya. Secara umum, di dalam satu keluarga di Indonesia, seringkali terdapat orang tua ayah atau ibu yang ikut bertinggal dengan keluarga itu. Selain Nenek dan Kakek, ada juga sepupu dan keponakan yang masih sekolah dan dititipkan oleh orang tuanya di rumah keluarga tertentu. Terkait dengan istilah Nenek dan Kakek, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi dari Nenek adalah ibu dari ayah atau ibu; sebutan kepada seorang perempuan yang telah tua. Definisi dari Kakek atau Aki/Datuk adalah Bapak dari ayah atau ibu dan sebutan untuk laki-laki yang sudah tua.
Sesuai dengan pemekarannya, saat ini Sulawesi Selatan mempunyai tiga etnis yaitu: Bugis, Makassar dan Toraja. Sebelum Sulawesi Barat menjadi provinsi tersendiri, suku Mandar masuk ke dalam kelompok etnis yang berada di Sulawesi Selatan. Keempat suku ini hidup berbaur dengan pendatang lainnya di kota Makassar sehingga terdapat keanekaragaman bahasa, budaya dan cerita yang unik untuk diketahui.
Berdasarkan kebiasaan masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, seringkali orang yang tidak menahu nama seorang Nenek memanggilnya dengan sebutan berdasarkan performa fisiknya. Contohnya adalah Nenek Kebo’ (karena kulitnya berwarna putih bersih, bahasa Makassar kebo’ artinya putih) dan Nenek Bau’ (nenek yang selalu berbau harum, berasal dari bahasa Makassar bau artinya harum). Kata kebo dan bau seringkali membuat orang salah kaprah mengartikannya. Kebo dalam bahasa Jawa berarti kerbau dan bau artinya mengeluarkan hawa kurang sedap. Jika tidak dijelaskan secara detil maknanya, kedua kata ini dapat menjadi topik perundungan atau bully seseorang yang mempunyai nama panggillan tersebut. Berdasarkan kebiasaan masyarakat, terdapat panggilan berdasarkan profesi yaitu: Nenek Kaluku (nenek yang menjual kelapa atau kaluku) dan Nenek Juku (Nenek yang menjual ikan). Ada pula panggilan istimewa yang menunjukkan ‘status’ seorang perempuan sepuh di masyarakat. Contohnya adalah: Nenek Bulaeng (julukan untuk nenek yang suka memakai banyak emas, bulaeng artinya emas dalam bahasa Makassar); Nenek Barliang (nenek yang identik dengan perhiasan berlian yang dimilikinya, barliang adalah berlian dalam bahasa Makassar), Nenek Intang (Nenek yang mempunyai perhiasan dari intan) dan Nenek Puang/Nenek Karaeng (nenek yang berasal dari kalangan ningrat/darah biru).
Saya mempunyai pengalaman lucu berhubungan dengan panggilan Nenek dan Kakek saat berkunjung ke desa terpencil di satu Kabupaten di Sulawesi Selatan. Pak Kepala Desanya seorang sepuh (umurnya sekitar 70 tahun), semua cucu dan cicitnya memanggil dengan sebutan “Nenek laki-laki”. Saat itu siang hari. Saya dan beberapa orang panitia bertamu ke rumah beliau untuk melaporkan kegiatan yang akan kami adakan di daerah itu. Rumah yang kami datangi adalah rumah panggung kayu khas suku Bugis dan harus menaik sejumlah anak tangga untuk memasukinya. Saat kami mengetuk pintu, keluarlah cicitnya, seorang anak perempuan berumur sekitar 6 tahun. Kami segera menanyakan keberadaan pak Kades kepada sang cicit. Saya dan teman panitia lainnya sempat shock juga karena cicitnya berkata: “Nenek laki-laki pi kebun, adaji nenek perempuan di dalam (Kakek pergi ke kebun, Nenek yang ada di dalam), jari mungilnya menunjuk ke arah dapur tempat Neneknya berada. Kekacauan kosa kata yang kami alami ternyata sah-sah saja berlaku di dalam masyarakat tertentu. Sebutan ini sangat lazim dijumpai di daerah pelosok Sulawesi. Mereka menganggap bahwa kata Nenek berlaku sama untuk lelaki dan perempuan. Kata itu semakin dipertegas gendernya menjadi nenek laki-laki dan nenek perempuan yang jelas sangat menyalahi definisi KBBI. Urgensi kegiatan memaksa kami harus segera bertemu dengan Pak Kades, masuklah kami ke dalam rumah menunggu sang Nenek laki-laki pulang dari kebun (srn).
Deskripsi etnografi Sulawesi Selatan yang luar biasa.
Panggilan pengganti terhadap kekek laki-laki adalah LATO.
Terima kasih banyak kunjungannya Ustadz Abunawas.
Jangan sampai diplesetkan Lato menjadi Latto-latto…hahahaha