
Di awal bulan Juni 2023, saya terkena penyakit malas makan. Saya mulai terjangkit penyakit ini saat berada di Amerika Serikat. Saya merenung, teringat saat masih menjadi Research Scholar di CU Denver. Saya paling sering membeli di kantin kampus berbagai macam jajanan antara lain: sushi isi salmon, Californian rolls, ayam katsu kuah kari dan udang tempura sebagai sumber protein. Jika rasa malas makan menyambangi saya saat weekend di asrama, pastilah saya memutar chanel mukbang di Facebook atau Instagram. Setelah menyaksikan dua sampai tiga video mukbang yang menggoda selera, saya langsung merasa kelaparan sejadi-jadinya dan makan apa saja yang terhidang di depan mata. Kondisi weekend ini sangat lain ceritanya dengan malas makan yang saya alami di akhir tahun 2021. Saat ini saya berada di Makassar yang situasinya sungguh berbeda dengan Denver. Saat penyakit malas makan menyerang saya, segera saya membuka aneka kuliner tradisional yang ditawarkan di Instagram. Mata saya tertuju pada ikan penja tumis pedas. Pasti Pembaca penasaran, kuliner apa lagi ini?
Masyarakat Indonesia mengenal teri Medan, maka suku Mandar di Sulawesi Barat mempunyai ikan penja atau ikan seribu yang menjadi andalannya. Ikan mungil yang panjangnya sekitar 1 – 2 cm dan tubuhnya bergaris hitam mempunyai nama ilmiah Awaous melanocephalus (Bleeker, 1849) dari famili Gobiidae. Terjadinya perubahan kualitas lingkungan akibat pencemaran air tampaknya berpengaruh pada kehidupan ikan penja yang saat ini hanya ditemukan pada waktu tertentu. Umumnya ikan penja hidup dalam kelompok besar di hulu sungai yang mengalir ke laut. Seperti perilaku ikan salmon, the school of fish ini bermigrasi dari laut menuju ke hulu sungai untuk kawin dan menghasilkan keturunan baru. Harga ikan penja tergantung pada musimnya. Saat langka ditemukan harganya semakin mahal dan sebaliknya. Selama ini saya hanya mengenal ikan penja dalam bentuk telah dikeringkan dan belum pernah melihat bentuk ikan segarnya. Menurut cerita dari mulut ke mulut, selain beras maka ikan penja kering merupakan bekal wajib saat masyarakat suku Mandar pergi merantau. Ikan ini tahan lama disimpan sekaligus menjadi obat mujarab jika rindu pada kampung halaman. Ikan penja kering mudah sekali cara mengolahnya. Umumnya ikan penja kering ditumis pedas dengan menambahkan cabai rawit, tomat, cabai besar dan aneka bumbu lainnya sehingga menghilangkan bau anyirnya.
Saya pertama kali mengenal ikan penja saat liburan ke rumah adik di kota Palu, Sulawesi Tengah pada tahun 2010. Saat itu saya diajak bersarap putu dan penja tumis pedas. Pikiran saya telah traveling kemana-mana mendengar kata putu. Ternyata ekspektasi saya salah total. Putu khas masyarakat Kaili adalah ketan putih campur ketan hitam matang yang dicetak memakai bilah bambu. Rasanya gurih dan tidak ada manis-manisnya seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Sebelum disajikan, putu ditaburi dengan kelapa parut nan gurih. Saya protes pada adik karena namanya putu padahal itu adalah ketan (songkolo dalam bahasa Makassar). Adik saya ngotot nama makanan itu adalah putu dan bukan songkolo. Saat pulang ke Makassar, saya membeli ikan penja sebagai ole-ole dan memasaknya sesuai dengan resep yang saya pelajari di Palu.
Hari ini saya bertemu dengan penjual penja tumis pedas di media sosial. Saya segera menghubungi nomor ownernya. Tidak perlu berlama-lama, saya segera mengorder satu kotak plastik penja tumis pedas dan membagikan lokasi rumah untuk memudahkan mas ojol mengantar pesanan itu. Harga sekotak penja adalah RP. 60,000 di luar ongkirnya. Saat saya membuka pintu pagar karena suami mau berangkat, saya melihat mas ojol duduk melongo di bawah papan nama pengacara milik suami. Saya segera memanggil si mas ojol dan membayar biaya pesanan itu. Setelah membuka plastik pembungkus paket, saya segera membuat dokumentasi dan mengirimkannya ke owner produk itu disertai ucapan terima kasih.

Lambung saya bernyanyi riang, seakan tidak sabar menunggu kuliner langka itu masuk ke tenggorokan. Saat membuka tutup kotaknya, tercium bau khas ikan penja bercampur semriwing wangi daun jeruk. Potongan tomat dan gilingan cabai kasar seakan melambai riang memanggil saya untuk segera mencicipinya. Aroma penja itu begitu wangi dan meningkatkan hormon dopamin yang merajai isi kepala. Saya segera menyendok nasi dan sup kol + kentang ke dalam piring. Ikan penja tumis pedas menyusul dan sebuah suapan sukses mengisi mulut. Ya Allah, alangkah nikmatnya kuliner yang telah sekian lama saya rindukan. I am spechless, takjub dengan rasa ikan penja dan keajaiban teknologi yang membawa makanan itu tiba di rumah.

Setelah makan siang, saya segera membuat status di whatsapp dengan memosting piring berisi lauk lengkap sebelum saya menyantap habis isinya. Komentar berdatangan dari berbagai penjuru, termasuk pertanyaan mengapa saya membeli penja secara online, mengapa saya tidak memasak sendiri karena biayanya lebih murah dan higienis. Sahabat saya Dr. Ratnawati dari Palu malah menjanjikan akan mengirimkan ikan penja kering untuk mengobati kerinduan saya pada makanan itu. Lucu juga rasanya, ikan penja menjadi trending topik di status saya. Saya tersenyum dan membalas komentar itu satu persatu. Saya katakan bahwa saya dapat mengolah sendiri ikan tersebut. Sayangnya saya tidak punya stok ikan penja. Selain itu saya merasa sangat lelah dan malas beraktivitas di dapur. Namanya kena penyakit malas, maunya praktis saja. Itulah buibu yang malas masak dan kepingin menikmati liburan, logikanya terkalahkan oleh perut kelaparan…hahahaha (srn).