Hari ini tepat seminggu Bapak pulang ke rumah orang tua merawat ayahnya yang sedang sakit. Mak menjadi pusing tujuh keliling karena perempuan itu harus mengerjakan semua tugas Bapak di sawah plus mengurus rumah tangga. Sejak kemarin Mak telah melihat pertumbuhan gulma atau tumbuhan liar sudah menghalangi tanaman padinya berkembang biak. Batang gulma yang menjalar kesana kemari tidak terkendali membuat tanaman padi menjadi kerdil. Jika menunggu Bapak pulang untuk menyiangi gulma, tanaman padi mereka keburu mati akibat invasi gulma yang merebut pupuk, air dan ruang tumbuh tanaman padi. Mak memutuskan hari ini dia harus turun gelanggang menyiangi gulma di sawah mereka. Nenek yang renta tidak dapat menjaga Agil, putra kesayangan Mak yang sangat hiperaktif. Setelah berunding dengan Nenek, diputuskan bahwa Mak membawa Agil ikut di sawah supaya Nenek mempunyai waktu mengaso sedikit saat menjaga rumah. Nenek telah membungkus tempe goreng dan makanan lainnya untuk makan siang Mak dan Agil. Keranjang bawaan Mak sudah penuh sehingga bungkusan tempe goreng itu tetap berada di luar. Tempe goreng yang fuwa-fuwa tidak dapat segera dibungkus karena uap yang tertahan memicu makanan cepat menjadi basi.
“Ayo Gil, ambil sandalmu… kita berangkat ke sawah sekarang,” teriak Mak pada Agil yang masih bermain layangan di jalan depan rumah.
“Tanggung Mak, layangan Agil baru naik. Lihat nih… cakep kan?” Agil berteriak gembira menunjukkan layangannya yang meliuk di angkasa. Beberapa orang teman Agil bersorak-sorak melihat layangan itu menari di angkasa.
“Turunkan layangan itu, kita segera berangkat ke sawah,” teriak Mak kesal. Dia terlambat berangkat karena telah mencuci tumpukan baju yang seminggu teronggok di depan kamar mandi. Kondisi fisik Nenek yang sangat terbatas karena usia tidak dapat lagi diharapkan membantu pekerjaan rumah yang membutuhkan tenaga ekstra. Sejak Bapak pergi, tugas Mak menjadi sangat berat karena harus melakukannya seorang diri.
“Agil… cepat turunkan layangan itu. Sudah siang ini…” Mak berjalan mendahului Agil namun dia berhenti dan kembali menemui anaknya.
“Keranjang ini sudah penuh. Kamu bawa bungkusan ini, hati-hati memegangnya,” Mak menyodorkan sebuah bungkusan yang berada di tangannya. Agil menerima bungkusan itu sambil merengut kesal.
“Yaaa… Mak, Agil mau main layangan bersama Anto,” Agil merajuk. Mak merengut kesal melihatnya. Agil tidak boleh dibiarkan bermain tanpa pengawasan orang tua. Dua hari yang lalu Mak lengah menjaganya. Diam-diam Agil pergi bermain bersama teman-temannya tanpa sepengetahuan Mak. Ternyata anak-anak itu membawa Agil pergi berenang. Si bocah bernama Agil nyaris tenggelam di saluran irigasi karena mengikut temannya berenang di situ. Ternyata saluran itu cukup dalam dan deras alirannya. Agil yang tidak mampu berenang menjadi kelabakan. Dia sudah setengah terbenam di saluran irigasi saat teman-temannya menyadari Agil tidak berada di antara mereka. Mak merasakan jantungnya berdebar ugal-ugalan saat menahu anak kesayangannya nyaris menjadi ‘almarhum’ di saluran irigasi.
“Ayo Mak, kita berangkat ke sawah,” teriakan Agil membuyarkan lamunan Mak. Agil adalah anak semata wayang yang sangat dirindukan kehadirannya selama puluhan tahun. Segera mereka berjalan menuju ke sawah milik Bapak.
Agil berlari riang gembira di atas pematang sambil membawa bungkusan berisi tempe goreng buatan Nenek. Dia melompat lincah di atas pematang dan melempar-lempar bungkusan itu ke angkasa. Mak berjalan terseok-seok mengikut dari belakang sambil membawa keranjang berisi nasi, lalapan, kerupuk, air minum, sekantung pupuk dan sabit. Peluhnya mengalir deras, tenaganya sudah terkuras duluan setelah mencuci dua ember besar pakaian kotor.
“Agil… bungkusannya jangan dilempar seperti itu. ‘Ntar jatuh ke sawah, rusaklah lauk makan siang kita,” Mak memperingatkan Agil.
“Tidak mungkinlah meleset Mak, Agil kan jago lempar-lemparan seperti ini,” anak lelaki itu menjawab takabur.
Tanpa di duga, setelah melempar bungkusan itu ke angkasa, kaki Agil terperosok masuk sebuah lubang tertutup rumput dan jatuh terjerembab. Wajah Agil pucat pasi dan menatap nanar bungkusan tempe goreng yang sukses terjun bebas ke tengah sawah kosong terendam banjir. Mak menjerit histeris melihat bungkusan tempe untuk makan siangnya mendarat di atas permukaan air, jaraknya cukup jauh dari pematang yang dilaluinya.
“Tuh kan, apa kata Mak barusan. Kamu benar-benar mengabaikan apa yang kubilang,” Mak berteriak marah dan menjewer kuping Agil yang meringis kesakitan karena lututnya berdarah. Bungkusan berisi tempe goreng terlihat separuh tenggelam di tengah sawah. Air mata kesal Mak mengalir membasahi pipinya. Mak yakin sekali isi bungkusan itu pasti rusak terendam air. Mak menelan ludah plus kecewa berat. Pupus sudah harapannya makan siang nikmat berlauk tempe goreng cabe rawit kesukaannya (srn).