Ide untuk menulis cerpen alias cerita pendek selalu menggelora dalam dada, tetapi sangat sulit untuk kurealisasikan karena keterbatasan waktu menyentuh tuts laptop. Namun demikian, kata deadline sungguh mujarab untuk segelintir penulis cerpen (termasuk saya). Kata ajaib nan manjur itu mampu mengguncang seluruh saraf untuk menghasilkan cerita keren sebagai partisipan dalam sebuah event. Grup WhatsApp Pulpen sungguh menyala karena ada saja cerita pendek yang diberikan krisan (kritik dan saran) oleh mas Dika. Saya telah menulis satu cernak alias cerita anak yang diikutkan dalam Sayembara Pulpen XXI dan dimuat dalam platform Kompasiana.
Saya merasa sangat bersyukur telah berkenalan dengan M Sanantara (saya memanggilnya mas Dika) seorang anggota komunitas Pulpen berasal dari Bogor. Saya merasa jealous pada teman sesama penulis cerpen yang karyanya diberi krisan oleh beliau. Hal ini membuat saya memberanikan diri menjapri mas Dika, mohon kesediaannya untuk memberikan krisan pada cerita anak yang telah saya ikutkan dalam Sayembara Pulpen XII. Seumur hidup saya sebagai penulis cerpen, pertama kalinya tulisan saya diulas oleh seseorang. Saya spechless dan jantung saya terus berdebar kencang menilik satu persatu krisan untuk bekal saya menulis di waktu yang akan datang. Tulisan Mas Dika sangat menggugah pikiran saya lebih menggali potensi dan mengenal jati diri saya sebagai seorang cerpenis. Jika Pembaca penasaran, ini link cerpen anak buatanku yang telah diulas tuntas oleh Mas Dika https://www.kompasiana.com/sri71162/673c66e8c925c478527706a5/hadiah-yang-tidak-dirindukan
Sebuah Karya Cernak dari Sri Nur Aminah
Judul : Hadiah yang (Tidak) Dirindukan
Pengulas : M Sanantara
Saya tergelincir di antara notasi sastra dan matematika. Sebelum jauh bergabung ke dalam Komunitas Pulpen, saya menyenangi aktivitas membaca Cernak alias cerita anak dari Majalah Bobo. Kebanyakan yang saya konsumsi adalah Cernak yang identik dengan kegembiraan sejak kebermulaan juga keberakhiran cerita. Tentulah saya paham ini akan menjadikan pengenalan atau khazanah akan Cernak di perpustakaan pikiran saya menjadilah monoton.
Sejak bergabung ke dalam Komunitas Pulpen semua berubah. Saya banyak membaca Cernak yang sungguh memprihatinkan. Bukan lantaran berdasar pada preferensi pribadi tetapi daya pendorong atau pemantik kreativitas yang merambat ke pikiran cerpenis adalah isu masalah lingkungan sosial terkhusus pendidikan yang kritis, perlu perhatian lebih. Saya menemukan kekhawatiran pada karya cerpen ini yang menggugah saya untuk terus menyelami setimba demi setimba. Mari kita lihat, dengan tempo lambat pada pembacaan juga turut serta sanubari meraba.
Hadiah yang (Tidak) Dirindukan
Rupanya Cerpenis telah bersiasat dengan mapan. Saya yakin proses membuat Cerpen ini pastilah lebih dari 30 menit. Sejak awal mengintip belum berani mengunjungi tubuh cerita saya paham, ini judul amatlah punya kekuatan ‘Magnetik’ jika dalam pelajaran elektrokimia kita sedikit tahu bahwa Proton akan mempunyai daya tarik menarik yang kuat jika bertemu Elektron, dalam arti umum kesejajaran penerimaan ada dalam dua kutub yang berlawanan. Di cerpen ini saya tidak menemukan sasaran khusus. Semua kutub cerpenis ‘olah’ untuk apa saling tarik-menarik.
Hanya saja judul itu kian mengganggu, Hadiah yang (Tidak) dirindukan. Mengapa saya membayangkan, ada keterkaitan Cerpenis dengan matematika. Ini tidak disini bisa di jumpai pada Logika Matematika a.k.a Negasi. Yang menjadi memukau adalah cerpen tambahkan simbol kurung-buka-kurung-tutup. Inilah menjadi strategi cemerlang yang saya amat dengan hati-hati, umumnya tanpa dibubuhi simbol itu tentu calon pembaca pun paham artinya tapi hanya sekedar paham. Tidak ada rasa ‘ingin tahu’. Rasa ingin tahu itulah yang diwakilkan oleh simbol itu. Singkatnya cerpenis ingin segera memberi tahu bahwa Cerpen ini pantaslah dibaca khalayak atau memang keresahannya inginlah disampaikan dan diketahui serta diperbincangkan semua orang yang membaca cerita ini.
Satu lagi, yang perlu saya beritahu judul ini tak hanya punya daya ‘pikat or magnet’ tapi ada nuansa kelengangan yang menuntun jauh jauh perasaan melankoli mendominasi. Congrats Ibu 💯
Terperangkap lalu berserah untuk menginap pada tubuh cerpen
Teknik pembukaan yang diawali dialog, saya yakin sudahlah banyak digarap oleh cerpen-cerpen lain. Tetapi cerpenis ingin menegaskan, yang sudah digarap sekalipun beratus-ratus kali pastilah akan berbeda rasa bergantung pada bahan bakar atau energi yang membentuk prototipe cerpen itu. Mari saya kutip sedikit dialog tersebut:
“Ibu, saya ingin membeli hadiah untuk Bu Ambar,” terdengar suara kecil dari mulut Embun”
Rupanya lagi lagi, dialog ini akan terlewat begitu saja pada pembaca yang maaf ‘kurang’ terpapar berbagai bentuk karya sastra. Untunglah tidak berlaku bagi saya, lihat itu Embun bisa bersuara terlebih mengatur besar kecilnya volume. Ini menarik. Saya juga terganggu, bisa ya anak kecil punya rasa peduli, perhatian terhadap orang lain yang bukan keluarga inti. Ini pertanda tersurat cerpenis bilang “kalaulah ingin diperhatikan, dipikirkan, dikenang, mari dekatkan intensitas pertemuan, percakapan, juga perhatian”.
Biasanya saya tidaklah banyak bercerita di awal saat mengulas, tetapi cerpen ini sendiri yang bilang bahwa pada saat cerpenis membuat, ia telah benar-benar masak merangkai tubuh demi tubuhnya. Pernak-pernik a.k.a atribut banyak diselipkan pada kalimat yang perlulah menuntut cermat. Cerpenis, memasang kata limited edition, anak tunggal. Seolah sejak awal cerpenis ingin pembaca benar-benar terarah daya bayang juga konsentrasinya. Ini akan membawa daya tahan lamanya pembaca untuk terus menyelami, terus membolak-balik cerita dan terlebih mengulanginya.
Saya masihlah terganggu dengan ‘hadiah’ ini bisa-bisanya hadiah tidak bernilai tidak membawa gembira jika saya artikan secara cepat, sederhana. Hadiah ini kian umum, bisa ditujukan kepada macam orang dengan status sosial yang melekat padanya. Seolah ada perasaan bahagia saat menerima hadiah itu lalu sekejap usai membuka munculah perasaan sedih menyergap. Aduh, ini cerpen super sekali. Berats berats seberat pemikiran Cerpenis nya hahhahaha.
Refleksi : saya terganggu dengan kata Yang. Sepengalaman saya pernah belajar Bahasa Indonesia di TPB IPB, yang ini adalah atribut penghubung antara satu kata dengan lain kata,
Sumbang ide: secara estetika perwajahan pembaca saya coba ubah:
Hadiah yang (Tidak) Dirindukan
Ini mengapa terlihat lebih baik dari yang sudah baik, sebab yang itu bukanlah mengawali suatu paragraf.
Reward dan Punishment
Hadiah. Harusnya diterima dengan senang hati tapi lain di cerpen ini. Yang harusnya begitu dipikirkan amat sempurna presisi, pragmatis, idealogi hahaha. Saya jadi teringat paragraf deduktif dan induktif, lihat saja cerpenis lihai mengambil induk gagasan pokok lalu mengurai layaknya permainan ular tangga.
Ia lakukan dengan sabar, pasang memasang, ‘hal yang mewakili’ kejutan demi kejutan itu. Inilah yang saya senang, gembira gaya seperti ini hanya bisa dipakai, dimodifikasi oleh Cerpenis yang juga sebagai penikmat, pembelajar, pengabdi Sains. Jadilah penguraian ke penguraian alur cerita dibuat layaknya keingintahuan entomologist untuk menemukan jawaban dari setiap observasinya di lapangan.
Embun sangatlah ingin memberikan rewards yang sependek pemahamannya haruslah ‘bernilai’ melebihi warna pelangi selepas hujan badai, seketika harapan itulah yang datang menjadi sebuah ganjaran di pikirannya. Menarik, Good job 💯
Semakin bertambah umur harusnya semakin pintar dan bijaksana
Saya hancur membacanya, sejak awal ditambah memasuki paragraf 7, dimana rasa ingin membanggakan sekolahnya dengan tulus dan semangat yang membawa pada prestasi gemilang tak bernilai bahkan dianggap biasa saja. Saya merasa kegelisahan, emosi, pemikiran Embun tenggelam dalam percakapan-percakapan manusia dewasa yang pada hemat saya kuranglah pintar dalam berpikir lalu bertindak apalagi pada anak didik. Ini perasaan sedih, ketidakadilan ini membuat saya menduga jangan-jangan ini pengalaman pribadi Cerpenis atau mungkin anaknya, atau muridnya (maaf). Karena penarasian di setiap pergeseran paragraf ke paragraf lain tidaklah keluar, amat koherensi. Tetapi saya merasakan suasana perasaan yang fluktuatif di awal sampai ke tengah cerita lalu dari tengah cerita sampai pada klimaks kian teguh mempertahankan kesenduan.
Embun itu telah mewakili adik saya
Saya sedih tahun 2017 kemarin, Adik saya perempuan masihlah duduk di bangku sekolah dasar kelas 5 SD. Ia memang rajin rupanya, saya sudah tahu sejak ada perangai ambisius disertai pendiam. Singkat cerita ia banyak ikut perlombaan salah satunya Cerdas Cermat tingkat Kabupaten. Pada saat pentas seni sekolah itulah ajang pengumuman para pelajar berprestasi. Adik saya menunggu-nunggu. Pengumuman itu, sampai terakhir disiarkan oleh Wali Kelas 4, tidak ada menyebut satu pun abjad yang merunut namanya. Begitu juga dengan perlombaan di luar sekolah. Pengulas berucap terima kasih cerpen ini telah mewakilinya.
Penyiasatan keidealan jumlah kalimat atau paragraf dalam Cerpen
Ini menarik, berbeda dari lainnya. Saya tidak bisa bayangkan kesabaran, pengembaraan, sampai kepada menemukan bentuk pengembangan wujud paragraf pada akhirnya cerita (Ending). Saya perhatikan sejak awal paragraf dan dialog pendek. Lugas. Padat makna. Tetapi tengoklah pada paragraf paling akhir bagi pembaca yang asal pembaca lalu menilai tanpa melamun, memikirkan dahulu pasti bilang mengapa paragraf terakhir begitu panjang a.k.a memuat kalimat lebih dari enam baris. Tentu pada saya berbeda hahahah, paragraf terakhir yang panjang itu seperti terasa Cerpenis (hahahha) tidak ingin ceritanya keresahannya marahnya dibatasi dalam cerita hahhaha.
Makanya ia sengaja panjangkan paragraf terakhir, it’s refers to sebuah pengembangan emosi, timbul dan tenggelamnya tokoh yg perlu digarisbawahi kian sesuai pada tempat dan peruntukannya. Saya mengakuinya dengan jujur, cerpen ini membabat banyak sekali masalah pada lingkungan sekolah. Tapi dikemas dalam bentuk satu payung utama. Ditambah bikin saya juga tersentil, ya ampun itu Ibu Guru Matre amat. Matre nya bukan dalam hal seleksi pasangan yang masihlah lumrah, ini matre terhadap muridnya aduh. Perlu kiranya, jalan-jalan wahai Ibu Guru, lepaslah penat sesekali dan merenung. Huh! Keren, Ibu.
Pengalaman tetaplah yang utama
Embun tetaplah harus merasa berbangga diri, dan bergembira lantaran sejak masih hijau sudah mengalami pengalaman hidup yang kurang mengenakkan tetapi menjadi semacam skills dalam mengenali mana perangai matre or immatre hahahahha. Rasa tulus dibalas dengan air mata. Aduh saya pun jadi belajar. Mestilah tulus yang berakal hahahha. (Bukan bermaksud menyudutkan Embun ya, Ibu 🙏🙏), Apa yang sebenarnya bernilai dari sebuah pemberian? Cerpen ini bilang, bukan yang tampak wah di mata harusnya tetapi apa yang menggerakkan dari dalam seorang individu manusia yang selanjutnya menuntun pada keputusan untuk memberi rewards. Cerpen tidak mungkin ditulis dengan level menengah, sudahlah berada di level atas dan akan terus mencari bentuk sempurnanya dalam pengembaraan inderawi, perasaan, iman dan akal Budi yang bersama senantiasa ada. Salam gembira, Ibu. Saya senang, saya merasa semangat Cerpenis seperti ibu mengirimkan karyanya dibaca oleh saya yang pemula unit. 👍👍💯
Bagaimanakah perasaan saya setelah membaca krisan dari Mas Dika?
Masya Allah…
satu ulasan yang membuat nyawa saya ketar-ketir membacanya. Cernak ini saya tulis menjelang deadline Sayembara Pulpen XII yang memakai jam Cinderella. Ide mengalir sangat deras saat saya mulai menekan tuts laptop berburu dengan berjalannya waktu. Seumur hidup sebagai penulis cerpen, inilah krisan pertama untuk cerpen anak yang telah saya hasilkan.Terima kasih banyak ulasan dari mas Dika. Saya buta sastra namun saya mempunyai jemari mampu menuliskan kegembiraan, tantangan dan kegelisahan hidup dalam lantunan kalimat yang (semoga) menyenangkan untuk dibaca. Mohon izin ulasan ini saya posting di website pribadi saya di IRo-Society. Suatu kebanggaan telah bertemu mas Dika di WAG komunitas Pulpen dan bersedia memberikan pemantik untuk saya berkarya di masa depan. Again thank you so much. Barakallah (srn).