Prof. Aunu Rauf dan Kutu Loncat

Saya mengenal Prof. Aunu Rauf saat menjalani pendidikan Magister di Program Entomologi/Fitopatologi pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Walaupun tidak pernah diajar langsung oleh beliau di dalam kelas, saya kagum sekali dengan keilmuan beliau yang sangat mumpuni. Sebagai seorang entomologist, saya re-post tulisan beliau tentang kutu loncat yang sangat menarik untuk dibaca. Re-post salah satu tulisan beliau tentang kutu loncat merupakan apresiasi saya untuk Prof. Aunu Rauf yang telah berkontribusi sangat besar di bidang perlindungan tanaman. Saya pertama kali mendengar nama kutu loncat sekitar tahun 1986 (saat itu saya masih kelas 2 SMP). Kondisi yang saya saksikan waktu itu di kota Ujung Pandang (nama sebelum Makassar), kutu loncat menyerang pohon lamtoro sampai gundul. Menurut cerita orang-orang, penyebaran kutu loncat dibantu angin. Pada tahun 2000, pertama kalinya saya melihat Curinus coeroleus berjalan hilir mudik di batang pohon lamtoro di daerah Sukamandi, Jawa Barat. Kumbang Curinus merupakan predator potensil Heteropsylla cubana atau kutu loncat yang sukses menggegerkan dunia pertanian di Indonesia. Serangga predator inilah menjadi dewa penyelamat menurunkan populasi kutu loncat yang menyerang tanaman lamtoro.

Prof. Aunu memulai ceritanya dengan menulis: Beberapa hari selepas saya menyampaikan “orasi purnabakti” pada 10 Februari  2021, datang pesan WhatsApp di ponsel saya. Pengirimnya seorang mahasiswa S1 yang pernah saya bimbing

Pak ..saya pernah baca wawancara pak Andi Hakim di Tempo bahwa ada tekanan dari Menteri Pertanian agar Pak Aunu tidak bicara lagi tentang hama kutu loncat lamtoro. Boleh Pak kapan-kapan itu diceritakan“, begitu tulisnya.

Memang pada orasi yang dilakukan secara daring itu, karena masih pandemi Covid-19, saya memasang judul “Menyusuri Jejak Panjang Berburu Hama Tanaman”. Salah satu hama yang saya ceritakan sepintas adalah kutu loncat lamtoro. Ya, kedatangan hama asing kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) ke dalam wilayah Indonesia memang sempat sangat menghebohkan. Serangga hama ini diketahui pertama kali menyerang perkebunan lamtoro milik Balai Penelitian Ternak di Ciawi, Bogor. Hal itu terjadi pada bulan Maret tahun 1986. Masih terbayang dalam ingatan saya, pada masa awal kedatangan hama itu, seluruh pohon lamtoro di wilayah Bogor tajuknya gundul karena daunnya luruh terserang kutu loncat. Beberapa bulan kemudian kutu loncat lamtoro menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk Papua.

Pohon lamtoro terserang kutu loncat (https://www.serbaserbihama.com/2024/07/kutu-loncat-lamyoro.html)

Sebelum tahun 1980, kutu loncat yang mempunyai nama ilmiah Heteropsylla cubana hanya terdapat di kawasan Neotropika, mulai dari bagian utara Argentina sampai ke Meksiko. Tahun 1983, serangga hama ini menyebar ke Florida, selanjutnya menyeberang ke kawasan Oriental dan Australia. Kedatangan kutu loncat lamtoro pada tahun 1986 mengawali persentuhan saya dengan hama asing invasif. Saat itu saya baru tiga tahun berada di Bogor, sejak kepulangan dari studi di USA, dan masih berstatus anak bawang di kancah perhamaan di Indonesia.  

Keterlibatan dengan kutu loncat lamtoro pernah membawa saya pada suatu pengalaman yang tak mudah lepas dari ingatan. Suatu pagi, persisnya tanggal 17 Agustus 1986, seusai kembali dari mengikuti upacara kemerdekaan di halaman depan Kampus IPB Baranangsiang, setibanya di kamar kerja, saya mendapat telepon dari kantor rektorat. Pesannya supaya saya segera datang untuk menghadap Rektor. Kala itu Rektornya adalah Prof. Dr. Ir. Andi Hakim, seseorang yang pemikiran dan gaya tulisannya saya kagumi dan idolakan. Bahkan, sejak saya mahasiswa.

Sepanjang jalan menuju rektorat, berbagai tanda tanya berkecamuk dalam kepala. Apa yang salah? Apakah saya keliru membaca urutan butir-butir Pancasila sehingga layak mendapat teguran.  Kebetulan pada upacara kemerdekaan itu, sebagai Ketua Jurusan HPT,  saya ditugasi membaca teks Pancasila. Setibanya di gedung rektorat, (saat ini menjadi kantor Majelis Wali Amanat/MWA), di dalam ruangan sudah ada Prof. Dr. Ir. Soemartono Sosromarsono dan Prof. Dr. Ir. Gunarwan Soeratmo, M.F.  Rupanya kedua dedengkot entomologi itu juga hadir pada upacara kemerdekaan dan diminta oleh Rektor untuk turut serta dalam pertemuan. Setelah mengetuk pintu dan masuk ruangan Rektor, Pak Andi mempersilahkan saya untuk duduk dekat Pak Soemartono. Dengan wajah serius, Pak Andi lantas bercerita bahwa baru saja beliau mendapat telepon dari Menteri Pertanian dengan nada tinggi meminta agar dosen bernama Aunu Rauf menghentikan segala wawancara di media massa perihal kutu loncat lamtoro.  Saya menduga bahwa hal itu terkait dengan pemberitaan di harian Kompas beberapa hari sebelumnya.  

Hari Senin 4 Agustus 1986, saya yang waktu itu belum lama menjabat Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB didatangi dua orang wartawan harian Kompas. Keduanya adalah alumni IPB. Yang satu angkatan A6, satunya lagi A11. Kepada kedua wartawan itu, saya ceritakan hasil pengamatan lapangan serangan kutu loncat lamtoro di Bogor dan sekitarnya. Pengamatan itu dilaksanakan bersama beberapa kolega dosen. Di antaranya I Wayan Winasa, Nina Maryana, dan Idham S Harahap. Saya bercerita bahwa, kala itu, sulit menjumpai pohon lamtoro yang bebas dari serangan kutu loncat. Tak terkecuali pohon lamtoro yang tumbuh terisolasi di pinggiran kebun teh Gunung Mas, di sepanjang jalan Bogor-Bandung dan di tempat lainnya. Bahkan bibit lamtoro setinggi 5 cm yang tersembunyi dalam semak belukar juga diserangnya. Semuanya itu menunjukkan kemampuan dan kecepatan kutu loncat lamtoro mengeksploitasi sumberdaya makanan. Bukan hanya kecepatannya mendeteksi tanaman pakan, populasi kutu loncat sangat berlimpah. Pada ranting yang telah meranggas yang panjangnya sekitar 57 cm kami menjumpai 104 ekor serangga dewasa, 1343 ekor nimfa atau pradewasa dan lebih dari 10.000 butir telur.

Wawancara selesai.

Esok harinya muncul berita di Kompas dengan judul “Serangan Kutu Loncat Lamtoro Lebih Ganas daripada Wereng Cokelat”. Tampaknya judul berita itulah yang membuat Pak Menteri Pertanian tak berkenan. Maklum, tahun 1986 sudah memasuki tahun politik, karena Pemilu tak lama lagi digelar pada 23 April 1987.  Judul berita itu tampaknya membuat Pak Menteri merasa tak nyaman. Khawatir serangan kutu loncat lamtoro dijadikan komoditas politik yang dapat berimbas pada kedudukannya kelak. Terlebih lagi, kebun lamtoro yang berada di kompleks peternakan sapi milik Presiden Soeharto di Tapos ikut diserang oleh kutu loncat. Peristiwa itu tampaknya sangat membekas di dalam benak Pak Andi. Apalagi Pak Andi dikenal memiliki daya ingat yang kuat.

Guntingan Koran Kompas 5 Agustus 1986 (Aunu Rauf, 1986)

Empat belas tahun kemudian, Pak Andi mengungkit lagi peristiwa itu ketika wartawan Tempo mewawancarainya tentang pendidikan tinggi di Indonesia.

 “Suatu siang seorang menteri-lulusan-IPB menelepon ke kantor saya.  Mula-mula ia memuji sehingga saya langsung waspada. Eh, benar. Pada akhirnya, Pak Menteri menyuruh saya supaya menekan Aunu Rauf, seorang dosen di Faperta, agar tidak bicara hama kutu loncat lagi. Waktu itu Aunu diwawancarai Kompas soal kutu loncat. Saya katakan kepadanya, dosen itu hanya menjalankan kewajibannya sebagai ilmuwan.  Dan kalau ia terus memaksakan kehendak, mau dikemanakan integritas akademik almamaternya? Akhirnya, ia minta maaf” begitu kenang Pak Andi sebagaimana ditulis majalah Tempo edisi 2 Februari 2000. 

Akhirnya saya mafhum. Rupanya mahasiswa yang disebut di awal tulisan ini  pernah membaca wawancara majalah Tempo dengan Pak Andi tadi.

Demikianlah tulisan Prof. Aunu Rauf yang telah saya re-post kembali disini. Insiden serangan kutu loncat lamtoro menjadi pengingat bahwa suatu jenis serangga invasif mempunyai potensi berkembang biak secara eksplosif jika tersedia sumber pakan melimpah dan tidak ada musuh alami yang mampu menahan laju populasinya. Semoga Prof. Aunu Rauf sehat selalu dan tetap menghasilkan karya yang dijadikan sebagai sumber pengetahuan oleh Pembacanya (srn).

Sumber tulisan dari Prof. Aunu Rauf (Minggu, 7 Juli 2024)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *